Pasta Gigi Ber-Fluoride untuk Balita, Amankah?
Seolah tanpa kompetitor, fluoride menjadi komposisi yang dinilai paling efektif menghentikan atau membalikkan kecenderungan laju peningkatan prevalensi kerusakan gigi.
Padahal, coba perhatikan tabung pasta gigi ber-fluoride yang beredar di pasaran. Mengapa ukurannya relatif kecil? Itu karena fluoride terbilang neurotoxic sehingga kadarnya tidak boleh lebih dari 276 miligram per kemasan pasta gigi. Sejak 1997, FDA (Food and Drug Administration) bahkan sudah mengharuskan penambahan frasa baru: ‘Jika tidak sengaja tertelan lebih dari yang yang biasa digunakan untuk menyikat gigi, cari bantuan profesional atau segera hubungi ‘Pusat Pengendalian Racun’ pada label peringatan semua pasta gigi dengan kandungan fluoride.
Aturan Pakai
Untuk anak di bawah 3 tahun, gunakan pasta gigi tidak lebih dari seukuran butir beras. Untuk anak usia 3-6 tahun, gunakan pasta gigi seukuran kacang polong.
Afirmasi tersebut memang tidak lantas melarang anak-anak menggunakan pasta gigi ber-fluoride. Hanya saja, sebagai lembaga pengawas pangan dan obat-obatan, FDA ingin memberi jaminan keamanan bahwa setiap zat yang diklasifikasikan sebagai obat harus diberi label rekomendasi untuk mencari bantuan profesional dalam kasus konsumsi berlebihan.
Pasalnya, bahkan dengan pengawasan ketat orang tua, probabilitas balita menelan pasta gigi sulit dihindari, mengingat balita belum memiliki refleks sempurna termasuk dalam berkumur dan meludah.
Namun, banyaknya iklan yang terus mensosialisasikan penggunaan fluoride sebagai aplikasi topikal untuk mencegah gigi berlubang sedari beberapa dekade lalu bisa jadi membuat para orang tua, tak terkecuali kamu, skeptis untuk beralih dari pasta gigi ber-fluoride. Tapi apa kamu akan lebih mempercayai perusahaan periklanan yang hanya kenal kata ‘bisnis’ dibanding otoritas kesehatan yang peduli konsumen?
Fakta #1
Profesor Fakultas Kedokteran Gigi Finlandia, K. Makinen dan A. Scheinin, meneliti penggunaan lanjutan xylitol di awal tahun 1970-an.
Menghapus ‘jejak' fluoride dari konsumsi harian tentu harus dilakukan. Terlepas dari kemampuannya merangsang remineralisasi gigi, potensi dampak negatif dari konsumsi fluoride berlebih bukanlah perkara sepele. Mulai dari dental fluorosis, yang ditandai gejala diskolorasi atau munculnya garis putih pada gigi, hingga penurunan IQ dan fungsi kognitif. Berdasarkan studi U.S National Institute of Environmental Health Sciences, setiap peningkatan 0,5 mg/L fluoride berkorelasi dengan penurunan IQ 2,5 poin dan penurunan skor indeks kognitif umum 3,15 poin pada anak.
Lagipula, sudah jadi rahasia umum kalau instalasi air minum siap pakai (tap water) juga mengandung fluoride. Bukankah konsumsi fluoride dari air minum saja sudah jauh dari ambang batas aman? Sedangkan, WHO menyarankan kadar fluoride berkisar antara 0,5 hingga 1,5 mg/L.
Ironisnya, kontras dengan rekan lain di negara maju, persatuan dokter gigi di negara berkembang malah jarang mengedukasikan risiko fluorosis terhadap kesehatan mulut, terlebih lagi dengan maraknya dana sponsorship dari brand pasta gigi ber-fluoride untuk kampanye programnya. Sementara, asosiasi dokter gigi dan otoritas kesehatan di dunia Barat sekelas Finnish Dental Association mulai memperkenalkan xylitol swabbing sebagai program perawatan kesehatan oral anak usia dini yang berlangsung hingga anak berumur 36 bulan.
Berkategori food additive, xylitol berasal dari ekstrak pohon birch dan merupakan satu-satunya pemanis alami yang tidak bisa difermentasi menjadi asam oleh bakteri dalam mulut sehingga tidak akan merusak enamel sekaligus tidak membahayakan jika tertelan.
Sebagai bagian integral dari kesehatan tubuh, menjaga higienitas mulut praktis diterapkan sejak gigi pertama anak mulai tumbuh. Namun, fakta bahwa anak usia dini belum mempunyai manual maupun kemampuan dalam memelihara kesehatan oral secara mandiri, maka kamu wajib mengawasi buah hatimu selama agenda rutinnya menyikat gigi. Dan tak kalah penting, bersikap super selektif dalam menentukan pasta gigi yang tepat.
Paparan fluoride pada tubuh tidak hanya akan berujung pada efek negatif yang minimal karena pasta gigi bukan sekadar ‘krim topikal’ yang tidak diserap tubuh. Aturan pakainya harus sesuai standar keamanan, bukan sepenuh sikat gigi seperti yang dicontohkan iklan. Begitu juga dengan status fluoride yang meskipun sudah dikenal dan digunakan ‘dari generasi ke generasi’ bukan berarti tanpa cela.
Jadi, apa kamu masih akan memilih pasta gigi ber-fluoride dengan berbagai kemungkinan efek sampingnya sedangkan ada alternatif semisal xylitol yang walaupun kurang ramah di kantong tapi lebih menjanjikan?
Bacaan lanjutan
Beberapa artikel dan jurnal ilmiah mengenai peran Fluoride dan efek sampingnya ke tingkat kecerdasan dan fungsi kognitif pada anak bisa diunduh di link dibawah ini.
The International Academy of Oral Medicine & Toxicology. Fluoride: Neurotoxic at ANY Level According to National Toxicology Program Report; Fluoridation Policy Threatened: 2023.
National Library of Medicine. Developmental fluoride neurotoxicity: an updated review: 2019.
JAMA Pediatrics. Association Between Maternal Fluoride Exposure During Pregnancy and IQ Scores in Offspring in Canada; 2019.
CNN Health. Fluoride exposure in utero linked to lower IQ in kids, study says; 2017.
The International Academy of Oral Medicine & Toxicology. Comphrehensive Review on Fluoride in Dental Products: 2017.
Choi AL, Sun G, Zhang Y, Grandjean P. Developmental fluoride neurotoxicity: a systematic review and meta-analysis. Environ Health Perspect. 2012;120(10):1362–1368. doi: 10.1289/ehp.1104912.
National Research Council. Fluoride in Drinking Water: A Scientific Review of EPA's Standards. Washington, D.C.: National Academy Press; 2006.