ptMUM.co

View Original

Endocrine Disruptors 101: Senyawa Kimia, Hormon, dan Infertilitas

Sebagai ‘pembawa pesan’ kimiawi (hormon) yang dilepaskan oleh jaringan kelenjar kompleks langsung ke peredaran darah, sistem endokrin bertanggung jawab dalam mengontrol berbagai proses biologis sekaligus aktivitas sel dan organ.

Namun, apa kamu sadar bahwa ekspos bahan kimia yang terjadi secara repetitif, melalui produk yang kamu gunakan setiap hari, mulai dari kosmetik, kemasan makanan dan minuman, peralatan masak, furnitur hingga tap water, nyatanya berpotensi mengakibatkan gangguan fungsi endokrin?

Dikenal dengan istilah ‘endocrine disrupting chemicals’, substansi yang masuk ke dalam tubuh lewat konsumsi, kontak kulit atau inhalasi ini mampu meniru kinerja normal sistem hormon. Tak hanya lihai memanipulasi, agen eksogen, sintetik, dan alami tersebut juga bisa meningkatkan atau memblokir pengikatan hormon ke reseptornya, atau justru sebaliknya, mengaktivasi atau menghambat jalur pensinyalan endokrin dan metabolisme hormon. Bahkan, mempengaruhi motilitas (keterampilan berenang) dan navigasi sperma serta kemampuannya untuk membuahi sel telur.

Motilitas Buruk = Infertilitas

Sekitar 30% ketidaksuburan disebabkan rendahnya konsentrasi sperma, ketidaknormalan morfologi, dan buruknya perilaku berenang.

 

Dalam serangkaian eksperimen yang dilakukan oleh tim peneliti dari Center of Advanced European Studies and Research di Bonn, Jerman, dan University Department of Growth and Reproduction, Rigshospitalet, Copenhagen, berbagai tingkatan bahan kimia, baik secara tunggal maupun berupa kombinasi, ditambahkan ke dalam cawan berisi sekitar seperempat juta sperma.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa beberapa bahan kimia tunggal memang tidak begitu memperlihatkan efek signifikan pada dosis yang rendah. Namun, ketika bercampur dengan bahan kimia lain dengan dosis yang sama rendahnya campuran tersebut berbahaya bagi sperma.

Dari 96 substansi kimia yang kerap diduga tidak beracun, sekitar sepertiga menyebabkan abnormalitas kadar kalsium pada sperma yang praktis merusak kinerjanya. Proses berenang sperma terganggu dan berujung pada terlalu dininya pelepasan ‘koktail’ enzim pencernaan yang dibutuhkan untuk menembus lapisan luar sel telur sehingga mengakibatkan terjadinya gagal pembuahan walau dalam masa subur sekalipun.

BPA/Phthalates = Bahaya

BPA mampu meniru hormon estrogen, sedangkan phthalates memblokir aksi testosteron sehingga berefek antiandrogenik.

 

Dalam ‘hierarki’ sel, ketika sel telur bertemu dengan sperma sel telur-lah yang memegang kendali. Sel telur menggunakan hormon progesteron untuk mengontrol perilaku berenang sperma, dengan mengaktifkan saluran ion yang disebut ‘CatSper’ atau saluran kation (posititf) sperma.

Telur atau oosit menjadi penanda bagi sperma di tuba fallopi. Sel-sel di sekitar sel telur melepaskan progesteron sebagai ‘chemoattractant’ yang mengarahkan sperma menuju sel telur sekaligus memicu hiperaktivitas sperma saat berada di dekat sel telur, dimana progesteron sangat terkonsentrasi. Progesteron kemudian mendorong konsentrasi kalsium intraseluler, yang berfungsi sebagai sinyal pengubah pola hentakan ekor sperma. Semburan energi inilah yang membantu sperma menembus sel telur.

Adanya bahan kimia pengganggu endokrin di saluran reproduksi wanita membanjiri sinyal hormonal yang biasanya diikuti sperma untuk menemukan sel telur sehingga menjadikan sensitivitas sperma terhadap progesteron berkurang. Sederhananya, hormon yang diproduksi oleh sel telur memberi tahu sperma dimana menemukannya, tapi jika ada bahan kimia lain dalam tubuh yang meniru hormon tersebut, 'GPS' pada sperma akan mengarahkan ke lokasi yang berbeda.

Fakta bahwa endocrine disruptors bisa menimbulkan efek samping bahkan dengan dosis rendah, mengingat senyawa kimia tidak bekerja secara independen, melainkan bertindak bersama secara sinergis, antagonis maupun aditif, tentu bukan perkara remeh. Apalagi statusnya sebagai ancaman kesehatan global yang membahayakan fertilitas dengan merusak motilitas sperma, regulasi pengujian terhadap semua bahan kimia umum wajib diperketat.

Produsen kosmetik atau produk perawatan tubuh bisa saja memberi label bebas phthalates dengan hanya melakukan modifikasi molekuler ringan untuk menciptakan komposisi yang secara eksplisit bukan merupakan phthalates tapi tetap mengandung masalah toksikologi serupa meski kadarnya rendah. Begitu juga dengan senyawa baru pengganti BPA pada industri makanan kaleng dan bahan kemasan atau PFAs untuk peralatan masak, furnitur, dan air minum.

Kebijakan semisal Toxic Substances Control Act yang dikelola EPA (Environmental Protection Agency) memang bisa jadi solusi untuk meninjau standar keamanan dan transparansi bahan kimia guna melindungi konsumen terutama wanita — kelompok yang rentan secara biologis. Begitu juga dengan basis data yang dipublikasikan EWG (Environmental Working Group) berisi daftar produk yang dinilai mengandung toksin. Atau. Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants yang diselenggarakan UNEP (United Nations Environment Program) dan diratifikasi banyak negara, tak terkecuali Indonesia, untuk mengontrol penggunaan bahan kimia di tingkat global dengan menghilangkan, membatasi atau mengurangi produksi bahan pencemar organik yang persisten.

Tapi seberapa efektif dampaknya? Bukankah konsumen akan tetap terbebani karena harus membaca satu per satu senyawa yang ada pada tabel komposisi produk tanpa logo ‘fragrance-free’, belum lagi memfilter air minum supaya bebas kontaminasi atrazine, menghindari konsumsi makanan kaleng dan yang melewati proses penyimpanan dan pemanasan berulang atau mengandung pestisida, memastikan wajan yang dipakai tidak anti lengket atau tidak ada angka 3, 6 atau 7 di bagian bawah botol plastik, hingga membeli pakaian dengan fabrikasi yang bisa didaur ulang? Jangan sampai akan ada era dimana konsumen harus menjadi pakar ilmu kimia dulu supaya bisa merasa aman beraktivitas dan berbelanja!

Kode Identifikasi Resin

Plastik nomor 3 dikhawatirkan mengandung phthalates, 6 mengandung styrene yang karsinogenik, 7 mengandung bisphenol.